Diberdayakan oleh Blogger.

Love Sun Sets


Senja atau langit sore memang pemandangan yang sangat indah. Langit yang memerah oleh pancaran mars, indah sekali.
Fairuz Asmara , gadis yang baru menginjak 19 tahun ini pun tak mau ketinggalan menikmati keindahan langit sore . Ia pergi seorang diri. Ya, salahkan sahabatnya—Ega yang lebih memilih menemani pacarnya—Fazar, ketimbang menemaninya  piknik.
“Huft. Ega menyebalkan,” gerutu gadis yang akrab disapa Rara ini. Sesekali tangannya membersihkan daun-daun kering  yang jatuh di pangkuannya.
“Andai saja Vhya dan Rani ada di sini, pasti aku tidak akan sendirian.”
Vhya dan Rani, 2 orang sahabat Rara. Mereka bertiga seperti lem dan perangko, tidak terpisahkan. Di mana ada Rara, pasti ada Vhya dan Rani. Ya, tapi itu dulu. Sebelum mereka memilih berkuliah di Jakarta, meninggalkan Rara yang kuliah di Bandung.
Rara terus menggerutu sambil memperhatikan Matahari yang bergerak secara perlahan. Saking sibuknya menggerutu, ia tidak menyadari sebuah bola sepak sedang meluncur kencang ke arahnya.
“AWAS!!”
“Kyaaa!!!” teriak Rara setelah menyadari sebuah bola meluncur kencang ke arahnya.
DUAGH
“Eh?” Rara membeo. Kaget. Tubuhnya tidak merasakan sakit. Ia merasa ada di dalam dekapan seseorang. Dekapan?
“Ih…” Rara meronta-ronta agar lepas dari dekapan seseorang tersebut.
Dekapan pun terlepas.  Membuat Rara dapat melihat rupa sang ‘hero’. Seorang pemuda berambut hitam jabrik, bertubuh tinggi tegap, bermata coklat, berhidung mancung, dan berkulit sawo matang.
Sejenak, Rara terpesona melihat sosok pemuda berwajah oriental di hadapannya. Hingga suara deheman sang pemuda membuyarkan lamunannya. Raut kesal kembali hinggap di wajah cantiknya.
“Eh, dodol! Kenapa kau tiba-tiba memelukku?” Rara mengarahkan telunjuknya tepat di depan wajah pemuda tampan itu.
“Maaf. Tadi hanya refleks,” jawab si pemuda dengan nada datar. Sepintas, Rara dapat melihat rona tipis menghiasi pipi si pemuda. Tapi, Rara tidak memperdulikan hal tersebut.
“Refleks? Cuma bola aja, kok repot!” gumam Rara sewot. “Err… Tapi, terimakasih  atas pertolonganmu.”
No problem,” jawab si pemuda. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum tipis, membuat Rara sedikit salah tingkah.
“Hm, kalo kamu tidak keberatan. Boleh kutahu nam-“ Belum selesai Rara bicara, sang pemuda tadi memotongnya.
“Kiki Ramadhan,” kata si pemuda yang ternyata bernama Kiki itu.
 “Huh! Tidak sopan memotong pembicaraan orang,” gerutu Rara kesal. Kiki hanya terkikik geli melihat sikap Rara yang sedikit childish.
Sorry. Namamu?”
“Fairuz Asmara. Panggil aja aku Rara.”
Perkenalan singkat yang akan merubah kehidupan mereka.
***
Pertemuan yang tidak sengaja dan perkenalan singkat itu membuat mereka akrab.     Bagai kaset rusak, bayangan pemuda bernama Kiki itu terus saja tergambar di benak Rara.
“Hoi, jeruk!” teriak Ega tepat di telinga Rara. Rara yang sedang melamun, tersentak kaget.
            “Ih, kamu. Ngagetin aja,” gerutu Rara.
            “Sorry. Habisnya kamu melamun sambil senyum-senyum, kayak udah gila aja. Apa yang kamu pikirin, sih? Sampai soulmate kamu itu masih utuh,” tanya Ega sambil menunjuk sebuah jeruk yang masih utuh di atas meja Rara.
            “Ahh, ya ampun. Sampai segitunya aku melamun?” tanya Rara innocent. Ega menepuk jidatnya.
            “Iya, Rara si maniak jeruk. Mikirin ayammu yang mati ya?” sindir sekaligus tebak Ega. Rara mendengus mendengarnya.
            “Hadoh. Please deh! Aku kan gak punya ayam!” ujar Rara sewot.
            “Iya… iya…” kata Ega bosan. Ia benar-benar bingung sama sahabatnya yang satu ini. Sikapnya itu loh, berubah-ubah terus. Kayak punya kepribadian ganda.
            Rara hanya memutar bola mata bosan. Tak sengaja, matanya menangkap siluet tubuh tegap Kiki lewat di depan kelasnya.
“Kiki!” panggil Rara menggelegar. Ega yang duduk di sebelahnya sampai terjungkal dari kursi.
“Aduh…” rintih Ega sambil mengusap pantatnya yang berciuman langsung dengan lantai.
Sedangkan Kiki yang mendengar namanya dipanggil pun menoleh ke dalam kelas Rara. Matanya coklatnya melihat Rara yang sedang nyengir lebar ke arahnya. Kiki tersenyum dan melangkah mendekati Rara.
“Hai!” sapa Rara malu-malu. Ega melongo melihatnya.
“Hai juga! Gak nyangka kamu kuliah di sini juga,” ucap Kiki ramah. Senyum tipis andalannya pun tersungging manis.
“Ng… iya. Hehehe…” Rara tertawa garing menutupi kegugupannya.
“Kacang… Kacang…” sindir Ega yang sedari tadi di acuhkan oleh Rara.
“Oh, ya. Kenalin, ini temen baik aku,” Rara memperkenalkan Ega kepada Kiki.
“Ega Monica,” ujar Ega sambil mengulurkan tangannya. Kiki tersenyum.
“Kiki Ramadhan,” tangan Kiki menjabat tangan Ega.
“Hmm… besok ada waktu gak?” tanya Kiki akhirnya.
“Gak ada. Besok dia harus ngubur ayamnya yang mati gara-ga… hmph… hmph…” ucapan Ega terpotong karena secara tidak berperiketemanan, Rara membekap mulutnya.
“Jangan dengerin omongan dia. Aku ada waktu kok. Emang ada apa?” tanya Rara.
“Bisa gak besok kamu ke taman tempat kita ketemu 3 hari yang lalu? Ada yang mau aku bicarakan,” ujar Kiki.
“Wah, jangan-jangan dia mau ngajak kencan aku!” inner Rara senang.
“Ng… bisa kok. Jam berapa?” tanya Rara pelan. Nada bahagia terselip di perkataannya.
“Saat senja. Aku tunggu ya!” ucap Kiki sambil berlari keluar kelas Rara. Mata Rara terus memperhatikan sosok Kiki hingga hilang dari pandangannya.
“Hmph… hmph…” suara Ega mengalihkan pandangan Rara. Tanpa berkomentar, Rara menarik tangannya yang tadi membekap mulut Ega.
“Puah… gila kamu! Mau bunuh aku ya?” gerutu Ega kesal. Makin kesal aja Ega saat melihat Rara lagi mesem-mesem gak jelas.
“Dasar telat puber,” batin Ega.
Tiba-tiba saja Rara berdiri menyambar tasnya dan lengan Ega.Lalu, ia berlari ke depan kelas.
“Woy!!! Hari ini kalian semua aku traktir makan di kantin sepuasnya! Ayo!” ajak Rara kepada teman di kelasnya.
“Cihuy!!!! Hidup Jeruk!” sorak teman-temannya gembira. Rara hanya tersenyum sambil berjalan menuju kantin.
“Orang yang lagi jatuh cinta emang aneh!” ucap Ega sambil geleng-geleng kepala. Diam-diam senyum simpul menari di bibirnya.
***
Terlihat seorang gadis berambut hitam kecoklatan yang di kuncir ponytail sedang berlari menembus kerumunan orang-orang. Sesekali diusapnya peluh yang membasahi dahinya. Ia terus berlari memasuki kawasan taman . Langkahnya berhenti saat ia sampai di depan sosok pemuda berambut jabrik yang sedang bersandar di batang pohon mangga.
“Hosh… maaf.  A-aku terlambat,” nafas Rara memburu kerena kecapekan berlari.
“Gak apa-apa kok. Lagipula aku baru aja tiba disini,” ujar Kiki berbohong, karena sebenarnya ia sudah menunggu Rara sejak satu jam yang lalu.
“Oh. Btw, hal apa yang ingin kau bicarakan itu?” tanya Rara.
“Err...” Kiki terlihat sedikit gugup. Keringat dingin membasahi dahinya.
“Bagaimana cara menjelaskannya?” batin Kiki bingung. Tangannya memijit tulang hidungnya yang mancung. Ia bingung. Bagaimana cara menyatakan cinta pada Rara? 4 hari adalah waktu yang singkat bagi seseorang untuk jatuh cinta. Ia ragu dan takut. Ragu akan jawaban Rara, dan takut Rara akan membencinya setelah ini.
Mungkin bagi sebagian orang, menyatakan cinta itu hanya tinggal mengucapkan kata ‘I Love you’ atau sejenisnya dan memberi bunga. Atau bisa juga dengan memberikan puisi cinta. Masalahnya, Kiki bukanlah tipe orang yang romantis.
Rara mengernyitkan dahi. Ia hanya memberikan pandangan bingung melihat tingkah Kiki yang  menjadi aneh.
“Ki, kenapa kamu jadi aneh begini?” tanya Rara. Kiki tersentak dari lamunannya.
 “Hm, aku tidak apa-apa,” dusta Kiki.
“Apa hal itu?” tanya Rara tidak sabar. Ia penasaran pada hal yang akan di bicarakan Kiki padanya.
Kiki menghela nafas perlahan. Lalu ditatapnya mata aquamarine Rara.
“Kau tahu. aku belum pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta dan bagaimana rasanya,” ungkap Kiki dengan lirih.
“Belum pernah?” tanya Rara dengan mata melotot. Ia kaget. Pemuda setampan Kiki belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. OMG!!!
 “Ya. Itu karena aku yang sangat cuek dalam urusan percintaan,” ujar Kiki.
Rara hanya diam mendengarkan cerita Kiki.
“Tapi kini aku telah merasakannya,” Kiki mengalihkan pandangannya ke langit.
“Ia adalah seseorang yang telah mencairkan hatiku yang sebeku es,” ucap Kiki hiperbolis. Segaris senyum, tercetak di bibirnya.
Rara speechless mendengar ucapan Kiki. Kepalanya tertunduk. Entah kenapa hatinya sakit mengetahui Kiki mempunyai seorang tambatan hati.
“Ya, walau pertemuan kami sangat singkat. Dan kau tahu siapa dia? Kau, Rara. Kaulah orangnya,” ucapan Kiki membuat Rara mendongak dengan tatapan tak percaya.
Kiki menghela nafas -lagi-. Ia tarik sudut bibirnya, menghasilkan segaris senyuman tipis.
“Jadi, maukah kamu menjadi pencair hatiku selamanya?” tanya Kiki.
Rara menghambur memeluk Kiki. Senyuman bahagia tak mampu ia sembunyikan.
“Tentu saja aku mau. Aku cinta kamu Kiki,” ujar Rara senang.
“Iya, aku juga cinta kamu kok, Ra.”
“Aku janji. Aku akan menjadi pencair hatimu se-la-ma-nya!” bisik Rara dengan penekanan di kata ‘selamanya’.
Senja yang mengharukan sekaligus membahagiakan bagi mereka.

~END~


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar


  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital